The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi
"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.
Wednesday, November 11, 2009
Skenario Menghitung Mundur...
SKENARIO MENGHITUNG MUNDUR…
Nama dan wajahnya setiap hari menghiasi halaman muka suratkabar.
Tak ketinggalan pula setiap jam selalu muncul dalam breaking news stasiun teve berita.
Lelaki itu duduk sendiri di ruang kerjanya. Tumpukan koran dan majalah memenuhi meja kerjanya. Ia sudah malas membacanya, karena semua isinya sama. Tuntutan mundur untuknya. Huh! “Apa mundur memang budaya kita? Sewaktu sekolah dulu, rasanya tidak ada pelajaran tentang budaya mundur. Ataukah ketika itu aku sedang tidak masuk sekolah?” pikirnya mengingat-ingat masa sekolah dulu.
Di luar, lalu lintas di sekitar kantornya tidak pernah sepi. Selalu ramai, selalu macet. Demikian pula dengan otaknya. Terus mencari jalan keluar dari kebuntuan. “Apakah kalau aku mundur dari jabatan lalu persoalan selesai? Lalu siapa yang akan melanjutkan tugas ini? Tak ada alasan untuk mundur. Kenapa aku harus mundur?”
“Bukankah budaya kita mengagungkan kedudukan yang tinggi, harta yang banyak, tunggangan apa yang kita naiki, kesaktian apa yang kita miliki, dan wanita cantik sebagai pendamping? Mengapa sekarang aku harus mundur?”
Awan gelap menyelimuti langit Jakarta. Awan mendung yang menjambret pikiran dan perasaan semua orang di republik ini. “Berapa banyak pejabat kita yang pernah mundur dari jabatannya? Hatta? Ah, itu kan sudah lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Tidak banyak yang ingat siapa dia. Hoegeng? Ah, dia cuma bikin susah generasi berikutnya dengan citra bersihnya seperti polisi tidur. Soeharto? Dia kan mundur setelah ditinggalkan semua pendukungnya.“
Teleponnya berdering terus-menerus. Telepon kantor dan telepon genggam. Ia diam saja, tidak mengangkatnya dan masih berdiri di dekat jendela. “Bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini? Institusi tidak kehilangan muka, aku pun tidak malu. Hmm…aku harus menyiapkan kalimatnya, tetapi bagaimana ya yang enak…?”
Matanya menerawang jauh, melampaui batas cakrawala yang mulai benderang dengan nyala lampu-lampu di sekitar kantornya. Ia ingat istrinya, anak-anak dan cucunya. “Saya tidak akan mundur. Buat apa mundur? Apakah kalau saya mundur, lalu persoalan ini selesai?”
Bagus, pikirnya lagi. Bukankah semua pejabat disini pertama-tama akan mengatakan demikian? Malu? Ah, rasanya tidak perlu malu. Apa ada kalimat lain sebagai alternatif? “Maaf, saya tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan itu. Maaf, saya tidak akan mundur!”
Bagus juga. Apa ada yang lain lagi? . “Saya tidak mundur, hanya tidak aktif untuk sementara waktu. Nanti saya akan kembali.”
Boleh juga. Apa masih ada yang lain? Pikirannya terus bekerja. Seribuan kalimat berseliweran di kepalanya. Bintang-bintang bertebaran. Satu kalimat yang selalu diingatnya. “Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.”
Bukankah semua atasan bertanggung jawab akan kelakuan anak buahnya? Dan tidak ada atasan yang akan menyuruh bawahannya mundur. Atasan pasti sudah memikirkan yang terbaik untuk bawahannya. Ya, ini dia kalimat yang pas, pikirnya.
Kepalanya pening, entah bintang entah kunang-kunang yang dilihatnya. Ia pun meneguk puyer tjap bintang toedjoeh nomor enam belas. Lalu ia mengulang-ulang lagi kalimat yang sudah diucapkan di dalam hati tadi. “Semua sudah saya serahkan pada atasan saya. Semua sudah saya serahkan pada atasan saya. Semua sudah saya serahkan pada atasan saya. ”
Kalimat sakti yang sudah menjadi mantra untuk semua pejabat, untuk semua birokrat.
“Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.
Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.
Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.”
Mantra yang harus diucapkan setiap saat, dimana pun berada. Diucapkan ketika bangun tidur, menjelang tidur dan selagi tidur.
“Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.
Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.
Semua sudah saya serahkan pada atasan saya.”
Jakarta, 8 – 12 November 2009
Urip Herdiman
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 10:02 PM 1 comments links to this post
Wednesday, November 04, 2009
Tai Chi (II) : Lingkaran Hitam Putih Reinkarnasi
TAI CHI (II):
LINGKARAN HITAM PUTIH REINKARNASI
“Tell you ‘bout a dream that I have every night
Tell you ‘bout a dream that I have every night
It ain’t kodachrome and it isn’t black and white... ”
aku melihat simbol itu, mengamatinya.
dan kemudian berbalik, ketika tiba-tiba kudengar suara lembut.
“kembalilah!”
“kau bicara padaku?”
tanyaku berbalik badan lagi.
“ya, dengarkan aku dahulu, setelah itu kau boleh pergi,”
katanya.
“baiklah, aku mendengarkanmu.”
“lihatlah aku.
akulah lingkaran yang terus berputar tanpa henti
yang selalu bergerak setiap saat
mencari keseimbangan.
akulah lingkaran hitam dan putih.
di dalam bagian hitamku, ada satu noktah berwarna putih.
aku di dalam tubuh, aku dalam gelap.
di dalam bagian putihku, ada satu noktah berwarna hitam.
aku di luar tubuh, dalam penantian kesementaraan kosmik,
menanti kelahiran kembali. aku dalam terang.
akulah lingkaran yin dan yang
hitam dan putih
gelap dan terang
kelahiran dan kematian
terbit dan tenggelam
lihatlah aku.
jangan melihatku separuh hitam mengandung noktah putih.
atau separuh putih mengandung noktah hitam.
lihatlah aku secara utuh.
akulah jiwa yang mengembara dalam lingkaran yang utuh.
hitam putih.
Tai Chi.”
aku terjaga dinihari, sendiri.
”Is it a dream?”
Sawangan, 11 Maret 2006 - Jakarta, 27 Februari 2007
Urip Herdiman
Catatan :
* Diinspirasikan dari buku Uncover Your Past Lives, karya Ted Andrews.
* Bait pertama adalah petikan lagu Psychobabble milik The Alan Parsons Project
dalam album Eye In The Sky, 1982.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 9:12 PM 1 comments links to this post
Tuesday, November 03, 2009
Wajah Seperti Apa?
WAJAH SEPERTI APA?
Suatu pagi, aku baru saja meletakkan pantatku di kursi , dan gelas teh masih terasa hangat, saat gadis itu datang. Lalu kami ngobrol ngalor-ngidul. Tiba-tiba ia bertanya,”Apakah kesetiaan itu? Dan apakah masih ada kesetiaan di zaman sekarang?”
Hahaha… Aku pun langsung tertawa mendengar pertanyaannya. Ah, mungkin perempuan muda ini berpikir bahwa aku seorang filsuf.
Kesetiaan? Apa yang kutahu tentang kesetiaan, setelah aku menendangnya jauh-jauh tahun 1996 lalu, di depan Gereja Bonaventura?
Kesetiaan mungkin lebih mirip dengan artefak purbakala yang terkubur beberapa meter di bawah permukaan tanah. Pernah ada, tetapi tidak banyak yang mengingatnya lagi, kecuali saat sakit hati karena ditinggal pergi kekasih atau dikhianati.
Kesetiaan? Aku hanya tertawa saja mendengar pertanyaannya. Dan kemudian melupakannya. Buat apa memikirkannya?
Hingga tiba-tiba seseorang bertanya padaku. “Apakah kebahagiaan itu? Dimana kebahagiaan bisa dicari?”
Aku menjawabnya tentang sebuah jalan menuju nibbana, tetapi ia menolaknya. Tidak apa-apa.
Tetapi apa wajahku memang wajah seperti seorang filsuf? Atau seperti seorang spiritualis? Entahlah, karena aku juga sering kedatangan orang-orang yang datang bertamu ke rumah hanya untuk meminjam uang. Apakah wajahku kelihatan seperti seorang dermawan yang baik hati, yang tak akan tega untuk menagih uang sendiri?
Hahaha…
Jakarta, 4 November 2009
Urip Herdiman
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 11:52 PM 1 comments links to this post
Sunday, November 01, 2009
Yin Yang Pergantian Hari
YIN YANG PERGANTIAN HARI
: yunieta maya sari
“Lalu dimanakah letak pergantian hari?”
katamu bertanya melalui angin yang datang dari jauh.
Lalu sunyi.
Kutatap senja, saat mentari pergi membawa terang, meninggalkan selimut gelap.
Kulihat jarum jam yang meluncur jatuh melewati puncak malam.
Dan kudengar suara kokok ayam jago saat fajar mengundang mentari kembali.
Fajar, pagi, siang, senja dan malam hanyalah pintu-pintu waktu,
yang menandai perjalanan hari.
Tetapi siapakah yang masih sempat memberikan perhatian padanya?
Menunggu dan menikmatinya setiap saat.
Mungkin tidak banyak.
Pergantian hari terjadi
ketika ada terang yang hadir di ujung gelap,
ada gelap yang hadir di ujung terang.
Ada Yin di dalam Yang,
Ada Yang di dalam Yin.
“Pergantian hari terletak di depan mata kita,
pada kesadaran tentang waktu yang selalu bergeser.”
jawabku juga lewat angin sang pengembara.
Dan setelah itu hening.
Jakarta, 26 Oktober – 2 November 2009
Urip Herdiman
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 11:07 PM 1 comments links to this post
Thursday, October 22, 2009
Negeri Malam
NEGERI MALAM
Seseorang meneleponku larut malam
dan bertanya,
“Dimanakah letak pagi?”
“Pagi terletak di sebelah timur, saat matahari terbit,”
jawabku.
“Dimanakah letak siang?”
“Siang terletak di atas kepala kita,
saat bayangan jatuh tepat di bawah kaki.”
“Dimanakah letak senja?”
“Senja terletak di sebelah barat, saat matahari turun.”
“Dan dimanakah letak malam?”
“Malam adalah negeri gelap
yang ditinggal pergi sang mentari
Waktu untuk bercinta, waktu untuk bermimpi
Saat untuk berdoa, saat untuk bermeditasi
Malam terletak di dalam pikiran kita.”
Dan aku mendengar ia tersenyum dari seberang sana,
“Selamat malam!”
Sawangan, 24 Februari 2006 - Jakarta, 22 Oktober 2009
Urip Herdiman K.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 1:40 AM 0 comments links to this post
Dari Mata Ke Mata
DARI MATA KE MATA
matamu menatap mataku
apakah kau ingin
mengatakan sesuatu?
mataku menatap matamu
apakah perlu aku
mengatakannya lagi?
Cideng, 22 Maret 2007
Urip Herdiman Kambali
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 1:36 AM 0 comments links to this post
Teman yang Mesra
TEMAN YANG MESRA
Biarpun cintaku kandas di matamu
dan wajahmu membeku di hatiku
Tetapi bibir kita masih tetap berteman mesra
Bibirmu selalu mengundang bibirku
datang bertamu
Bibirku takkan membiarkan bibirmu
lama menunggu
Sawangan, 12 Juli 2008
Urip Herdiman K.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 1:33 AM 0 comments links to this post
Tuesday, October 20, 2009
Anak-anak Matahari Penjaga Pintu
ANAK-ANAK MATAHARI PENJAGA PINTU
Sama-sama anak matahari yang menjaga pintu,
pagi dan senja tak pernah saling bertemu muka.
Pagi selalu berdiri di timur dan bertugas membuka pintu,
membiarkan sinar mentari bertamu dengan hangat.
Senja selalu berdiri di barat dan bertugas menutup pintu,
membiarkan mentari pergi ke balik cakrawala mengejar mimpi.
Pagi dan senja saling mengetahui bahwa mereka ada dan saling merindukan.
Mereka berkirim kabar melalui angin yang membawa berita,
melintasi piringan jam dinding.
Tetapi itu tidaklah cukup.
Dan mereka pun memutuskan untuk saling berkirim kartu pos.
Senja menerima kartu pos dari pagi, dan membaca kata-katanya,
”Inilah aku, pagi.
Ayah datang dari timur membawa kehangatan.
Lihat senyumnya!”
Pagi menerima kartu pos dari senja, dan membaca kata-katanya,
”Inilah aku, senja.
Ayah pergi ke barat mengejar mimpi.
Lihat punggungnya!”
Sawangan, 7 Oktober 2007 – Jakarta, 20 Oktober 2009
Urip Herdiman K.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 5:40 PM 0 comments links to this post
Monday, September 28, 2009
Drupadi, Wanita Dengan Lima Suami
DRUPADI, WANITA DENGAN LIMA SUAMI
: Anastasia Vee
1/
Perang Bharatayudha telah berlangsung berhari-hari. Air mata dan darah telah tumpah membasahi bumi. Tak terhitung lagi berapa banyak jiwa yang melayang.
Drupadi gelisah di dalam tendanya. Ia selalu menantikan berita yang ditunggu-tunggunya, sejak perang ini dimulai. Berita yang diharapkan datang dari Bhimasena. Berita kematian Dursasana!
2/
Banyak raja, pangeran dan ksatria maju berlomba memperebutkan Drupadi, putri hitam manis nan jelita. Tetapi tak satupun yang berhasil mengangkat gandiwa itu hingga akhirnya seorang brahmana muda tampil. Dengan mudah diangkatnya gandiwa itu dan dilepaskannya anak panah.
Tepat sasaran, pas di hati.
Drupadi tersenyum senang dan melangkah menghampiri sang brahmana muda untuk mengalunginya dengan untaian bunga.
Seorang brahmana muda memenangi lomba memanah untuk kaum ksatria? Banyak mata yang terperanjat tak percaya, tetapi sang putri tidak peduli.
3/
Giliran Drupadi yang terperanjat saat berdiri di depan seorang ibu yang cantik dengan lima ksatria muda di sisinya. “Maafkan aku, aku terbiasa mengatakan pada anak-anakku untuk membagi rata semuanya untuk berlima. Aku tidak tahu kalau yang dibawa Arjuna adalah seorang putri cantik,”
kata Kunti lembut dengan sedikit gugup.
“ Aku tidak bermaksud agar kau menikah dengan kelima putraku. Maafkan aku….”
Kelima ksatria itu memandang Drupadi dengan terpesona. Drupadi - inkarnasi dari Nalayani, istri seorang resi dalam kehidupannya terdahulu - pun membalas pandangan lima ksatria yang ada di hadapannya. Yudhistira, Bhimasena, Arjuna sang pemenang, dan si kembar Nakula – Sadewa.
Dan dewa cinta pun lewat dalam sekejap mata, melepaskan anak-anak panah cintanya. Tepat sasaran, pas di hati.
4/
Waktu terus berlalu, dunia selalu berubah, dan hidup harus jalan sebagaimana adanya. Satu tahun bersama Yudhistira, satu tahun bersama Bhimasena, satu tahun bersama Arjuna, satu tahun bersama Nakula, dan satu tahun bersama Sadewa. Lalu kembali lagi pada Yudhistira, begitu seterusnya. Dalam suka, dalam duka.
5/
Yudhistira pucat. Ia kehilangan semuanya di meja judi. Negerinya, tahtanya, adik-adiknya. Mereka semua ditelanjangi hingga tinggal cawat. Ruang pertemuan bergemuruh dengan tawa seratus Kurawa. Dan para sesepuh terpana tidak berdaya mencegah penghinaan itu. Tinggal seorang Drupadi, berdiri kaku di satu sudut, menyaksikan kekalahan suami-suami tercintanya.
6/
Apakah ia ikut dipertaruhkan dalam perjudian itu?
Apakah ia, Drupadi, ikut dipertaruhkan dalam perjudian itu?
Apakah Drupadi dipertaruhkan sebelum Yudhistira kalah?
Ataukah ia dipertaruhkan setelah Yudhistira kalah dan kehilangan hak atas dirinya sendiri?
Apakah seseorang yang telah kalah masih berhak mempertaruhkan adik-adik dan istri bersama mereka?
Beberapa orang yang hadir berdebat tentang status Drupadi. Tetapi suara-suara itu tenggelam dalam keriuhan.
7/
Dursasana tersenyum menyeringai. Matanya liar menatap tubuh sang putri.
Drupadi gemetar. Ditatapnya kelima suaminya. “Tidak, tidak ada yang bisa kuharapkan dari mereka. Mereka hanyalah orang-orang yang telah kalah. Mereka hanyalah pecundang,” pikirnya.
8/
Dursasana menjambak rambut Drupadi.
Drupadi memekik, sanggulnya terurai.
Dursasana memegang ujung kain.
Drupadi memejamkan mata, kedua telapak tangannya menutupi wajah.
Dursasana tertawa terbahak-bahak.
Drupadi mengatur nafas, memusatkan seluruh pikirannya.
Dursasana menarik ujung kain.
Drupadi merapal mantra, membaca doa.
Hanya berdoa. Hanya berdoa…
9/
Tubuh rampingnya berputar seperti gasing mengikuti tarikan kain yang dihentakkan oleh Dursasana dengan kasar. Doanya terdengar oleh Krishna, inkarnasi kedelapan Batara Wishnu, di kejauhan.
Dan kain itu tidak pernah habis-habis. Sungguh. Satu kain habis, satu kain lain telah menutupi tubuh Drupadi. Entah berapa lama hal itu berlangsung.
Tak ada lagi suara tawa Kurawa yang menghina. Ruangan perjudian menjadi senyap. Dursasana terduduk kelelahan di samping tumpukan ribuan kain. Drupadi menitikkan air matanya.
“Aku tak akan pernah menyanggul rambutku lagi sejak hari ini, sebelum membasahinya dengan darahmu yang akan tumpah di medan perang!” katanya dengan bergetar. Drupadi bersumpah di depan seluruh hadirin, sembari menunjuk Dursasana.
“Aku akan merobek-robek dadamu, dan meminum darah segarmu,” sumpah Bhimasena penuh kemarahan. “Dan agar istriku, istri kami berlima, bisa membasahi rambutnya dengan darahmu.”
10/
Drupadi membebaskan Pandawa setelah kekalahan di perjudian pertama. Tetapi Yudhistira kembali memenuhi undangan berjudi untuk yang kedua kali. Dan sekali lagi ia kalah dari Sangkuni.
11/
Akhirnya, berita itu datang di hari ketujuhbelas.
Bhimasena berlari menemui Drupadi di tendanya di tepi padang Kurusetra. Dipegangnya semangkuk cairan berwarna merah darah yang masih segar. “Sudah kurobek-robek dada Dursasana dengan kuku Pancanakaku, kuminum darahnya, dan kubawakan darah ini untuk membasahi rambutmu,” kata Bhima tanpa basa-basi.
Drupadi duduk bersimpuh di depan Bhima. Rambut hitamnya yang panjang terurai. Dan Bhima pun menuangkan darah segar untuk membasahi rambut Drupadi. Darah Dursasana!
Jakarta, 17 – 29 September 2009
Urip Herdiman K.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 9:16 PM 1 comments links to this post
Monday, August 03, 2009
Diantara Pintu-pintu Perjalanan Jiwa
DIANTARA PINTU-PINTU PERJALANAN JIWA
Ketika kita bertemu pertama kali,
apakah kau berpikir sepertiku,
bahwa mungkin kita pernah bertemu sebelumnya?
Apakah kau tidak teringat pada sesuatu?
Apakah kau tidak merasa asing denganku?
Apakah kau merasa dekat denganku?
Ataukah kau merasa jauh denganku?
Suatu waktu di masa silam, di kehidupan-kehidupan lalu, di suatu tempat?
Adakah percikan kenangan yang terbersit muncul di dalam pikiranmu
dari alam bawah sadar?
Apakah kau berpikir sepertiku,
bahwa pertemuan ini
bukanlah suatu hal yang kebetulan dan tidak sengaja?
Apakah pertemuan ini sudah digariskan sebelumnya?
Adakah sesuatu yang menyebabkan kita harus bertemu?
Apakah kita punya utang-piutang yang belum dibayarkan
dari kehidupan-kehidupan silam?
Apakah kita harus menyelesaikan urusan yang belum selesai?
Apakah kau berpikir sepertiku.
bahwa jiwa-jiwa kita saling mengenali satu sama lain
dan berbicara melalui mimpi-mimpi kita?
Apakah kau berpikir sepertiku,
bahwa ini bukanlah pertemuan yang pertama,
dan juga bukan pertemuan yang terakhir?
Apakah kau berpikir sepertiku,
bahwa pertemuan ini hanya bagian kecil dari suatu hubungan yang panjang,
melewati pintu-pintu perjalanan jiwa di masa silam dan di masa depan?
Kelahiran, kematian dan kelahiran kembali.
Apakah kau berpikir sepertiku,
dari mana kita datang dan ke mana kita akan pergi setelah ini?
Jakarta, 3 – 4 Agustus 2009
Urip Herdiman K.
http://www.theurhekaproject.blogspot.com
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 6:04 PM 2 comments links to this post
Wednesday, July 29, 2009
Cermin Sang Nyonya, 2 (Revisi) : Dari Shadow Dancing Hingga Epitaph
CERMIN SANG NYONYA, 2 (Revisi):
Dari Shadow Dancing Hingga Epitaph
1/
Sebenarnya ia sudah bosan melihat album-album fotonya. Namun apa daya, jika sedang kosong dan tidak ada yang bisa dikerjakan lagi, maka ia pun menoleh kepada album-album fotonya.
2/
Tentu ia senang melihat foto dirinya, apalagi ketika masih remaja. Cantik, kenes, dan seksi. Siapa cowok yang tidak suka meliriknya? Hampir semua cowok di sekolahnya, pasti pernah meliriknya. Tetapi tidak semua cowok dilihatnya kecuali yang datang naik Mercy atau Volvo. Tak apa disebut piala bergilir, yang penting hati senang.
Dan ia akan selalu mengingat dengan cowok mana ia pergi ke langit ketujuh pada malam perpisahan SMA dulu. Dulu yang jauh sekali. Malam yang penuh gairah, malam yang tak akan dilupakan.
3/
Ia akan tersenyum sendiri melihat album foto berikutnya, album masa kuliah. Ia adalah ratu di kampusnya. Tetapi akhirnya lelaki yang menggiringnya ke pelaminan adalah bandot tua teman bapaknya, yang menghadiahi rumah mewah, lengkap dengan semua isinya, termasuk mobil dan rekening di bank.
Ia masih bisa tersenyum walau pernikahannya kandas. Hidup jalan terus. Malam-malamnya tidak pernah sepi, habis di lantai dansa hingga pagi.
“Do it light, taking me through the night
Shadow dancing, baby you do it right
Give me more, drag me across the floor
Shadow dancing, all this and nothing more…”*
4/
Dan setelah itu, tiga kali pernikahan dilalui, seperti pelesiran saja. Empat kali pernikahan, menghasilkan empat anak. “Lalu buat apa orang menikah ya, kalau akhirnya seringkali harus kandas?” pikirnya geli.
5/
Ia selalu melihat foto-fotonya itu di kala senggangnya kini. Apalagi yang harus diurus sekarang di usia yang tidak muda lagi menjelang senja? Anak-anak sudah besar, semua punya rumah sendiri. Cucu-cucu ada yang rajin datang, tetapi ada juga yang tak pernah dilihatnya. “Tidak masalah, emang gue pikirin!”
Arisan? Ia sudah bosan ikut arisan. Ada sebelas arisan yang ia ikuti. Dari arisan uang jutaan perak sampai arisan brondong muda pernah ia jelajahi.
Kegiatan sosial? Ah, itu sih kecil. Sederet jabatan ketua, sekretaris dan bendahara di berbagai yayasan pernah ia pegang. Nombok sudah biasa, yang penting namanya dikenal luas. “Apa iya kalau aku mati nanti masuk surga?”
6/
Kini ia ikut latihan meditasi dan rajin datang ke pengajian. Tetapi sesekali ia juga datang ke kebaktian minggu pagi. Ia pindah agama karena suami keduanya, tetapi ia tidak bisa melupakan Tuhan yang Disalibkan yang ada di gereja tua dekat rumahnya dahulu, ketika ia masih kanak-kanak.
7/
Apalagi ya? Ah, ini dia. “Apakah aku yang dahulu dengan aku yang sekarang masih orang yang sama?” katanya setengah bertanya.
Ia bertanya di atas ranjangnya yang sepi, sambil mendengarkan sebuah lagu dari zaman psychedelic yang sudah membatu.
“Confusion will be my epitaph
As I crawl a cracked and broken path
If we make it we can all sit back and laugh
But I fear tomorrow I’ll be crying
Yes I fear tomorrow I’ll be crying …”
Jakarta, 28 – 30 Juli 2009
Urip Herdiman K.
Catatan :
* Shadow Dancing, lagu dari The Bee Gees.
** Epitaph, lagu dari King Crimson
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 5:57 PM 0 comments links to this post
Tuesday, July 28, 2009
Cermin Sang Nyonya, 2 : Dari Shadow Dancing hingga Epitaph
CERMIN SANG NYONYA, 2 :
Dari Shadow Dancing Hingga Epitaph
1/
Sebenarnya ia sudah bosan melihat album-album fotonya. Namun apa daya, jika sedang kosong dan tidak ada yang bisa dikerjakan lagi, maka ia pun menoleh kepada album-album fotonya.
2/
Tentu ia senang melihat foto dirinya, apalagi ketika masih remaja. Cantik, kenes, dan seksi. Siapa cowok yang tidak suka meliriknya? Hampir semua cowok di sekolahnya, pasti pernah meliriknya. Tetapi tidak semua cowok dilihatnya kecuali yang datang naik Mercy atau Volvo. Tak apa disebut piala bergilir, yang penting hati senang.
Dan ia akan selalu mengingat dengan cowok mana ia pergi ke langit ketujuh pada malam perpisahan SMA dulu. Dulu yang jauh sekali. Malam yang penuh gairah, malam yang tak akan dilupakan.
3/
Ia akan tersenyum sendiri melihat album foto berikutnya, album masa kuliah. Ia adalah ratu di kampusnya. Malam-malamnya tidak pernah sepi, habis di lantai dansa hingga pagi.
“Do it light, taking me through the night
Shadow dancing, baby you do it right
Give me more, drag me across the floor
Shadow dancing, all this and nothing more…”*
4/
Tetapi akhirnya lelaki yang menggiringnya ke pelaminan adalah bandot tua teman bapaknya, yang menghadiahi rumah mewah, lengkap dengan semua isinya, termasuk mobil dan rekening di bank.
Ia masih bisa tersenyum walau pernikahannya kandas. Dan setelah itu, tiga kali pernikahan dilalui, seperti pelesiran saja. Empat kali pernikahan, menghasilkan empat anak. “Lalu buat apa orang menikah ya, kalau akhirnya seringkali harus kandas?” pikirnya geli.
5/
Ia selalu melihat foto-fotonya itu di kala senggangnya kini. Apalagi yang harus diurus sekarang di usia yang senja? Anak-anak sudah besar, semua punya rumah sendiri. Cucu-cucu ada yang rajin datang, tetapi ada juga yang tak pernah dilihatnya. “Tidak masalah, emang gue pikirin!”
Arisan? Ia sudah bosan ikut arisan. Ada sebelas arisan yang ia ikuti. Dari arisan uang jutaan perak sampai arisan brondong muda pernah ia jelajahi.
Kegiatan sosial? Ah, itu sih kecil. Sederet jabatan ketua, sekretaris dan bendahara di berbagai yayasan pernah ia pegang. Nombok sudah biasa, yang penting namanya dikenal luas. “Apa iya kalau aku mati nanti masuk surga?”
6/
Kini ia rajin datang ke pengajian, dan ikut latihan meditasi. Tetapi sesekali ia juga datang ke kebaktian minggu pagi. Ia pindah agama karena suami keduanya, tetapi ia tidak bisa melupakan Tuhan yang ada di gereja tua dekat rumahnya dahulu, ketika ia masih kanak-kanak.
7/
Apalagi ya? Ah, ini dia. “Apakah aku yang dahulu dengan aku yang sekarang masih orang yang sama?” katanya setengah bertanya.
Ia bertanya di atas ranjangnya yang sepi, sambil mendengarkan sebuah lagu dari zaman psychedelic yang sudah membatu.
“Confusion will be my epitaph
As I crawl a cracked and broken path
If we make it we can all sit back and laugh
But I fear tomorrow I’ll be crying
Yes I fear tomorrow I’ll be crying …”
Jakarta, 28 – 29 Juli 2009
Urip Herdiman K.
Catatan :
* Shadow Dancing, lagu dari The Bee Gees.
** Epitaph, lagu dari King Crimson
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 7:05 PM 0 comments links to this post
Tuesday, July 14, 2009
Kutemukan Leaving On A Jet Plane Di Stasiun Depok Baru
KUTEMUKAN LEAVING ON A JET PLANE
DI STASIUN DEPOK BARU
Kereta ekspres berhenti di jalur tengah. Pintu terbuka, penumpang berhamburan. Orang-orang berjalan tergesa. Tak ada waktu untuk menoleh kiri kanan.
Aku menuruni tangga menuju lorong bawah tanah. Lamat-lamat kudengar lagu itu. Dinyanyikan orkestra para pengamen. Beberapa anak menari di sekitarnya. Memaksaku berhenti sejenak.
“So kiss me and smile for me,
Tell me that you wait for me…”
Tiba-tiba kuteringat pada suatu senja, beberapa tahun yang lewat. Di depan lift kantornya, ia berkata,”Dua ratus lima puluh hari kerja, separuh lebih adalah trip.”
Ia terbang dari satu titik ke titik lain di atas peta. Tidur di atas awan. Mengirimkan berita dari kota-kota yang membeku di dalam postcard.
“Cause I’m leaving on a jet plane,
Don’t know when I’ll be back again…”
Denpasar. Bangkok. Amsterdam. Moscow. Stockholm…
“Now the time has come to leave you
One more time, let me kiss you…”
Jakarta, 15 Juli 2009
Urip Herdiman K.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 7:39 PM 0 comments links to this post
Leaving On A Jet Plane
Leaving On A Jet Plane
(John Denver)
All my bags are packed,
I'm ready to go,
I'm standing here,
Outside your door,
I hate to wake you up to say Good Bye.
But the dawn is breakin', It's early morn`,
The taxi's waiting, blowin' his horn.
Already I'm so lonesome I could die.
So kiss me and smile for me,
Tell me that you wait for me,
Hold me, like you never let me go.
Cause I'm leaving on a jet plane,
Don't know when I'll be back again,
Oh Babe I hate to go.
So many times, I let you down,
So many times, I played around,
but I tell you now, they don't mean a thing.
Every place I go, I'll think of you,
Every song I sing, I sing for you.
When I come back, I'll bring your wedding ring.
Refrain
Now the time has come to leave you,
One more time, let me kiss you,
Close your eyes and I'll be on my way.
Think about the days to come,
When I won't have you leave alone,
About the day, when I won't have to say,
Refrain
Catatan :
Selasa sore, 14 Juli 2009, kereta Depok Ekspres berhenti di jalur tengah Stasiun Depok Baru. Sekelompok pengamen menyanyikan lagu ini. Keren banget.
Labels: Lirik Lagu Pop
posted by Urip Herdiman Kambali @ 6:16 PM 0 comments links to this post
Sunday, July 12, 2009
Gandhari
GANDHARI
Ketika kekecewaan melandanya
semula ia hanya menutup matanya
tanpa disadari
bahwa telinga dan hatinya ikut tertutup
Tak ada celah untuk sinar mentari,
tak ada tempat untuk nyala sebuah lilin kecil
Ketika kemarahan membakarnya
ia melepaskan kutukan penuh amarah
“Kau biarkan perang ini terjadi,
sehingga seratus anak kandungku mati.
Tiga puluh enam tahun sejak hari ini,
bangsamu akan musnah dari muka bumi!“
Dalam kegelapan
ia hanya mendengarkan perasaannya sendiri
Jakarta, 25 Juni – 13 Juli 2009
Urip Herdiman K.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 8:30 PM 1 comments links to this post
Thursday, July 09, 2009
Cinta Platonis dan Soulmate, Dongeng Pengantar Tidur
CINTA PLATONIS DAN SOULMATE,
DONGENG PENGANTAR TIDUR
1/
“As far as my eyes can see
There are shadows approaching me…”
2/
Kubaca suratmu tentang cinta yang filosofis, tetapi kau tidak memberi petunjuk apapun. Tiba-tiba menjelang tengah malam, aku teringat sebuah kisah yang pernah kubaca. Sebentar ya, aku carikan dulu bukunya. Mungkin aku perlu mendongeng untukmu sebelum tidur, sebelum Natal.
(((Teng…!)))
Ah, kudengar bunyi lonceng dari kejauhan. Tepat tengah malam. Lonceng selalu dibunyikan setiap jarum jam menunjukkan angka dua belas, tiga dan enam pagi, siang dan malam, katamu suatu waktu.
3/
Alkisah zaman dahulu kala di negara bagian Wyoming, Amerika, demikian J. Maya Pilkington menceritakan dalam bukunya, terdapat segerombolan koboi liar yang bergerak melawan hukum, pimpinan Butch Cassidy. Butch mempunyai seorang teman dekat, bernama Henry Longabough yang dikenal juga sebagai Sundance Kid.
Melalui perjalanan panjang dan petualangan bersama, mereka menjadi dekat, sangat dekat. Mereka selalu setia satu sama lain, apa pun yang mereka lakukan dan ke mana pun mereka pergi. Tanpa pernah terkatakan atau terucap, telah tumbuh cinta di antara keduanya. Mereka saling mengerti dan memahami.
Hingga pada tahun 1902, mereka bersama-sama melarikan diri ke Amerika Selatan dan meninggal bersama setelah ditembak tentara Bolivia.
“Dorr!”
Ah, kau tahu sendiri kan, bagaimana cerita-cerita koboi. Sekali ini jagoan kita harus tersungkur, tidak melenggang di atas kudanya menuju garis batas cakrawala.
4/
Maya Pilkington menyebut cinta di antara Butch dan Henry sebagai cinta platonis. Platonis diambil dari nama Plato (427 – 347 SM), salah satu nenek moyang para filsuf, yang hidup di zaman Yunani Kuno jauh sebelum kelahiran Kristus. Jika kau membayangkan wajahnya botak dan memelihara jenggot panjang, kau tidak salah. Kira-kira seperti itulah para filsuf zaman baheula. Mirip dengan gambar minuman anggur kolesom cap Orang Tua. Maaf, ini bukan iklan lho… Hahaha…
Ada baiknya aku menceritakan sedikit tentang Kakek Plato ini. Menurut Kakek, jiwa manusia hidup di dunia idea-idea, atau semacam surga, yang jauh dari dunia fana ini. Entah karena peristiwa apa, jiwa manusia ini jatuh dari dunia idea-idea ke dalam dunia ini dan bersemayam di tubuh manusia yang menurutnya, adalah penjara.
Hemm…penjara yang mendarahdaging…
Kaitannya dengan cinta, aku singkat saja karena kepalaku juga pening membaca bukunya Romo Mudji Sutrisno dan Budi Hardiman ini, mungkin cinta adalah wilayah idea-idea, yang lebih tinggi dari tubuh, sementara hasrat seksual adalah wilayah tubuh, yang lebih rendah dari idea-idea.
5/
Okelah, kita kembali saja ke buku Maya Pilkington. Dikatakan bahwa cinta platonis mengandung unsur filosofi atau teori, bahwa dua orang dapat menjalin cinta yang sangat murni dan dalam tanpa melibatkan unsur fisik sama sekali. Maksudnya mungkin adalah tidak ada sentuhan fisik dan hasrat seksual. Ehem…maaf, aku perlu minum dulu.
Cinta platonis ini bisa terjadi jika dua orang bersahabat dalam jangka waktu yang panjang selama bertahun-tahun dan akhirnya saling mencintai, saling merindukan, saling membutuhkan walau tidak terkatakan atau terucapkan. Tanpa seks, mungkin hanya sekadar tatapan mata dan sentuhan halus.
Aku ingat beberapa film yang pernah kutonton. Hmm, kini aku mengerti, mungkin itu yang disebut cinta platonis. Percakapan tanpa kata. Hanya tatapan mata dan gerak tubuh yang berbicara.
Cinta platonis ini seringkali terjadi di antara para sahabat, teman kerja, kakak, adik dan saudara. Dan kelihatannya Tante Maya (aih…mudah-mudahan cantik ya orangnya…) tidak menyebutkan perbedaan kelamin dan usia. Artinya, sesama pria atau sesama wanita, tua atau muda, bisa saja terjadi cinta platonis.
Apakah cinta platonis hanya di antara manusia saja? Ah, rupanya tidak. Cinta platonis bisa juga terjadi dalam hubungan kita dengan sesuatu tempat yang amat kita sukai. Atau dengan sesuatu hobi atau kesenangan, dan tentu saja dengan hewan peliharaan . Yang penting, ada yang mencintai dan ada yang dicintai.
Aku jadi teringat dengan mendiang ayahku, yang di saat-saat sakit hingga akhir hayatnya, masih mengurus koleksi perangkonya.
Jadi jika seseorang mengatakan kau seorang platonis, tidak apa. Jangan gusar ataupun marah. Karena sebenarnya, hampir semua orang pada waktu tertentu dan situasi tertentu, adalah seorang platonis. Kau, aku dan mereka. Kita semua adalah platonis.
6/
“…And someday in the mist of time
When they asked me if I knew you
I’d smile and say you were a friend of mine
And the sadness would be lifted from my eyes
Oh when I’m old and wise…”
7/
Aha…tiba-tiba di kepalaku terlintas sebuah pertanyaan, apakah ada persamaan antara platonis dengan soulmate. Pernah kuceritakan padamu tentang soulmate. Aku tidak percaya bahwa soulmate atau jodoh harus selalu menjadi pasangan suami-istri atau suami-istri adalah pasangan yang berjodoh. Tidak.
Soulmate bisa saja dengan orang tua, saudara, sahabat, teman, dimana kita merasakan saling cocok satu sama lain. Soulmate ada karena perjalanan jiwa yang mengembara dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya dalam suatu lingkaran tanpa akhir. Jiwa-jiwa tersebut sudah saling mengenal satu sama lain, dalam kehidupan-kehidupan sebelum sekarang, berjanji untuk bertemu kembali dan selalu saling mencari dalam kehidupan berikutnya. Soulmate tidak mengenal akte pernikahan, karena akte itu hanya untuk tubuh fisik kita. Akte itu bisa dirobek-robek dan dibuang ke keranjang sampah.
Mungkin, suatu waktu, jika kau mau, aku perlu menulis untukmu tentang pernikahan jiwa ini ya…
8/
Kurasa ada titik temu antara platonis dengan soulmate yang aku maksudkan ini, karena keduanya tidak menempatkan seks sebagai hal yang utama. Bedanya, platonis selain dengan manusia, bisa dengan tempat, hobi dan hewan peliharaan, sementara soulmate hanya dengan orang-orang saja.
9/
(((Teng…!)))
Ah, sudah pagi rupanya. Kulihat matamu terpejam. Aku bisa melihatmu dari sini, sekalipun aku tidak tahu dimana rumahmu. I can see your house from here, kata Camel.
Maaf, kau minta puisi, tetapi aku malah mendongeng, dongeng yang panjang. Selamat pagi, selamat tidur. Merry Christmas!
10/
“…And someday in the mist of time
When they ask you if you knew me
Remember that you were a friend of mine
As the final curtain fall before my eyes
Oh when I’m old and wise
As far as my eyes can see”
Jakarta, 6 – 10 Desember 2007
Urip Herdiman K.
Catatan :
1. J. Maya Pilkington & Diagram Group, Misteri Arah Hidup Anda. Jakarta, Penerbit Arcan, 1994.
2. FX Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1992.
Petikan lirik dari lagu Old nd Wise, milik The Alan Parsons Project, dalam album Eye in The Sky, 1982.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 7:05 PM 0 comments links to this post
Aih, Jodoh Tidak Sama Dengan Pernikahan Dan Suami Istri Tidak Selalu Jodoh
AIH, JODOH TIDAK SAMA DENGAN PERNIKAHAN
DAN SUAMI ISTRI TIDAK SELALU JODOH…!
1/
Tidak ada bisnis yang stabil kecuali bisnis pernikahan. Stabil dan tidak terkena resesi. Apakah ada hari atau malam tanpa pernikahan? Hohoho… Akan selalu ada. Lihat saja janur kuning di gedunggedung pertemuan umum atau di depan gang perkampungan.
Sebuah undangan pernikahan tergolek di atas mejaku. Hmm… Ah, gadis cantik tetangga gang sebelah. Kembang desa yang sedang mekar. Dipetik lelaki dari negeri antahberantah.
2/
Aku malas datang ke acara pernikahan. Pertanyaannya selalu sama.
“Kapan kamu akan menikah?”
“Lho, kok, datangnya sendiri?”
“Datang sama siapa?”
“Temannya mana?”
Huh…membuatku semakin malas datang ke acara pernikahan. Mungkin bukan cuma aku. Ternyata beberapa temanku yang jomblo, atau masih betah sendiri, demikian pula. Hehehe… Kami memang anggota Aliansi Jomblo & Jablai Indonesia.
Apakah dengan menikah berarti sudah bertemu dengan jodoh? Apakah suami istri selalu berjodoh? Bagaimana dengan orang yang menikah berkalikali? Apakah orang yang tidak menikah berarti tidak punya jodoh? Hohoho… Nanti dulu…aku tergelitik untuk bermainmain dengan kata, suatu labirin.
3/
Rasanya aku punya penjelasan sendiri untukmu, sayang. Jodoh selalu diartikan ‘teman jiwa’ atau ‘belahan jiwa’. Aku pikir dua frase ini punya arti yang tidak sama. Teman jiwa mungkin teman dalam pengembaraan ruang dan waktu,.melalui inkarnasi yang berulangkali. Saling mengenali, saling mencari, saling menanti, tanpa terkatakan. Seperti ada magnet yang saling tarikmenarik. Jodoh tidak mengenal status pernikahan, agama, ras, suku bangsa, warna kulit dan bahasa. Ia, teman jiwa, teruji melalui persahabatan yang panjang, tidak melulu sekadar seks. Aih… Aku mencarimu dari satu inkarnasi ke inkarnasi berikutnya, dan kau menantiku di suatu bintang.
Belahan jiwa? Entahlah, mungkin ini semacam anima dan animus dalam psikologi Jung. Di dalam diri setiap pria, selalu ada elemen feminin. Dan di dalam diri setiap wanita, selalu ada elemen maskulin. Hohoho… Sebagian orang mengatakannya ‘jiwa kembar’. Mungkin mendekati benar, walau kedua jiwa tetaplah individu yang unik dan berkembang sendirisendiri. Aah…kita sedang bermainmain dengan kata, suatu labirin.
4/
Pernikahan selalu membutuhkan pengakuan legal dari institusi agama maupun hukum. Jadi tidak masalah, selama mampu, menikahlah sebanyakbanyaknya. Satu kali, dua kali, tiga kali… Atau punya istri dua, tiga, empat…sembilan… Semua alasan atau dalih bisa dicaricari. Hoahoahoa…
Ada pepatah yang mengatakan mencari jodoh sama seperti mencari tulang rusuk yang hilang, sesuai mitos penciptaan wanita. Jika seorang pria punya istri empat, apakah ia kehilangan empat tulang rusuknya? Atau satu tulang rusuknya dibuat menjadi empat wanita? Hehehe… Jika seorang wanita menikah empat kali, apakah ia terbuat dari empat tulang rusuk pria yang berbeda? Hoahoahoa… Mungkin itu hanya metafora saja.
5/
Apakah pernikahan selalu dilandasi cinta? Kupikir tidak selalu. Mungkin kita sudah sering dengar orangorang yang menikah karena uang, jabatan, kedudukan, atau seks semata. Hemmm… Karenanya aku yakin, suami dan istri tidaklah selalu jodoh satu sama lain, walau mungkin saja mereka adalah jodoh. Haa…?
Aku pikir jodoh tidak membutuhkan sertifikat dari kantor urusan agama, gereja atau catatan sipil. Karena jiwa tidak dibatasi selembar kertas yang bisa disobeksobek. Pernikahanlah yang membutuhkannya, agar persetubuhan itu tidak disebut perzinahan.
Mungkin aku benar, mungkin juga aku salah. Tetapi beberapa teman yang kuceritakan cukup terkejut. Jadi, yang masih jomblo atau jablai, boleh tenang. Jangan khawatir. Kita semua tetap punya jodoh, walaupun mungkin jodoh kita sudah menikah dengan orang lain. Jodoh tidak harus terikat pada pernikahan. Bahasa gaulnya, cinta jalan terus sekalipun orang yang kita cintai sudah menikah. Hehehe…
Dan yang sudah punya suami atau istri, pandanglah pasangannya masingmasing. Apakah dia memang jodohmu? Hoahoahoa…
Kau percaya padaku? Jangan, jangan dulu… Ini, kan cuma permainan katakata saja, sebuah labirin.
“Kapan neeh menikahnya?”
seseorang bertanya padaku
“Emang gue pikirin!”
Jakarta, 30 Mei - 4 Juni 2007
Urip Herdiman K.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 7:03 PM 0 comments links to this post
Monday, July 06, 2009
Bibir Siapa?
BIBIR SIAPA?
1/
Sebuah paket pos sudah lelah menunggu di atas meja kerjaku. Tidak ada nama dan alamat si pengirim. “Dari siapa ya?” pikirku menebak-nebak.
Kubuka bungkusan itu yang ditutup dengan kertas kado motif bunga mawar warna pink. Kutemukan sebuah gelas cantik model lama dengan bekas bibir warna merah yang tertinggal di bibir gelasnya. Dan secarik kertas bertuliskan,”Apakah kau masih ingat denganku? Kita pernah minum bersama dari gelas ini.”
Ah, siapa orang yang mengirim paket gelas bibir ini?
2/
Aku makan berdua bersama dengannya, seseorang yang baru kukenal beberapa hari lalu. Bercakap-cakap panjang tentang sejarah Zen, Boddhidharma, meditasi, haiku, jalan pedang para samurai dan pengaruhnya dalam gaya hidup era post modern. Sampai akhirnya ia kehabisan minuman di dalam gelasnya yang kosong. “Mau tambah minumnya?” kataku menawarkan.
“Ah, tidak perlu. Tetapi boleh ‘kan aku minum sedikit dari gelasmu?” jawabnya sembari mengambil gelasku.
Tak ada alasan untuk menolaknya, karena tangannya lebih cepat dari pikiranku. “Silakan saja…” jawabku pendek.
Dan setelah itu aku menatap gelasku sendiri. Ada bekas bibir yang tertinggal di sana, warna merah.
Ah, apakah ia yang mengirim gelas itu padaku tempo hari?
Jakarta, 7 Juli 2009
Urip Herdiman K.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 10:44 PM 0 comments links to this post
Thursday, July 02, 2009
Year Of The Cat
YEAR OF THE CAT
Al Stewart
On a morning from a Bogart movie
In a country where they turn back time
You go strolling through the crowd like Peter Lorre
Contemplating a crime
She comes out of the sun in a silk dress running
Like a watercolour in the rain
Don't bother asking for explanations
She'll just tell you that she came
In the year of the cat.
She doesn't give you time for questions
As she locks up your arm in hers
And you follow 'till your sense of which direction
Completely disappears
By the blue tiled walls near the market stalls
There's a hidden door she leads you to
These days, she says, I feel my life
Just like a river running through
The year of the cat
She looks at you so cooly
And her eyes shine like the moon in the sea
She comes in incense and patchouli
So you take her, to find what's waiting inside
The year of the cat.
Well morning comes and you're still with her
And the bus and the tourists are gone
And you've thrown away the choice and lost your ticket
So you have to stay on
But the drum-beat strains of the night remain
In the rhythm of the new-born day
You know sometime you're bound to leave her
But for now you're going to stay
In the year of the cat
Labels: Lirik Lagu Rock
posted by Urip Herdiman Kambali @ 5:20 PM 0 comments links to this post
Sunday, June 28, 2009
Cun Kuan Ce
CUN KUAN CE
1/
Kau letakkan jari-jemari lentikmu di kedua pergelangan tanganku. Tangan kananmu di tangan kiriku, tangan kirimu di tangan kananku. Jari telunjuk, jari tengah dan jari manis di posisi cun kuan ce. Paru-paru, limpa dan pericardium di tangan kanan. Jantung, hati dan ginjal di tangan kiri. Belajar merasakan nadi. Kau meletakkan jari-jemarimu, tanpa menekan. “Auw, bagus sekali jemarimu,” pikirku.
“Nadimu mengambang, cepat dan kuat!”
katamu sambil tersenyum.
Ah, apa kau tidak merasakan detak jantungku yang berdebar-debar?
2/
Aku meletakkan jari-jemariku di kedua pergelangan tanganmu. Tangan kananku di tangan kirimu, tangan kiriku di tangan kananmu. Aku meletakkan jari-jemariku, tidak merasakan apa-apa. Aku menekannya, juga tidak merasakan apa-apa.
“Nadimu tenggelam, lambat dan lemah ya?”
kataku agak ragu.
Ah, apa kau tidak merasakan apa-apa saat kusentuh kulitmu yang halus itu?
Jakarta, 29 Juni 2009
Urip Herdiman K.
Catatan :
Cun kuan ce, tiga titik penting di pergelangan tangan bagian dalam sebelah luar, untuk perabaan nadi dalam akupunktur.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 10:27 PM 0 comments links to this post
Tuesday, June 23, 2009
Bukan Kecap Pilpres 2009
BUKAN KECAP PILPRES 2009
Satu putaran?
Lanjutkan!
Lebih cepat, lebih baik
Jakarta, 24 Juni 2009
Urip Herdiman K.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 8:09 PM 1 comments links to this post
Renungan Bhisma Di Depan Pintu Maut
RENUNGAN BHISMA DI DEPAN PINTU MAUT
: Anwar Holid
1/
Hari kesepuluh Perang Bharatayudha di padang Kurusetra. Matahari ada di sebelah selatan.
Menjelang petang, akhirnya ksatria tua itu tumbang setelah dihujani panah oleh Srikandi, tanpa perlawanan. Tubuhnya seperti landak, rebah di atas puluhan anak panah yang menyangganya sehingga tidak jatuh di atas tanah.
Seperti ketika ia mengucapkan sumpahnya dahulu untuk hidup selibat, hujan bunga-bunga nan wangi jatuh di Kurusetra yang panas dan penuh darah.
Pertempuran terhenti. Semua pihak tergopoh-gopoh datang menghampiri Bhisma dan memberikan sembah hormatnya. Arjuna membuat bantalan dari anak panah untuk menyangga leher dan kepala kakeknya.
“Aku belum akan mati saat ini. Aku menunggu matahari kembali ke titik baliknya di utara,” kata Bhisma perlahan-lahan pada yang hadir di sekitarnya, baik dari pihak Pandawa maupun Kurawa.
Hanya Bhisma satu-satunya manusia yang bisa menentukan sendiri kapan waktu yang tepat untuk kematiannya.
“Pulanglah, dan hentikan perang yang sia-sia ini. Perang ini tidak ada manfaatnya, perang ini hanya membawa kehancuran dan luka-luka!”
2/
Padang Kurusetra menjadi sepi. Hanya ada kesunyian dan bau anyir darah yang mengambang. Di bawah tenda darurat yang didirikan untuk melindunginya dari panas dan hujan, Bhisma menatap langit malam penuh bintang. Sang Resi mencoba memahami mengapa perang saudara ini harus terjadi.
3/
Ia sadar bahwa semua sebab akan menghasilkan akibat. Sesuatu yang terdahulu menyebabkan sesuatu yang datang belakangan. Sesuatu yang kecil akan bisa mengakibatkan sesuatu yang besar di kemudian hari.
Ia mengingat-ingat bagaimana ia dahulu bersumpah selibat hanya untuk memberikan jalan pada ayahnya menikahi seorang wanita muda, putri seorang nelayan. Apakah ini yang menjadi penyebab?
Ia menolak permintaan ibu tirinya untuk menikahi salah satu dari istri-istri kedua adik tirinya, agar wangsa Bharata punya keturunan. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?
Ia mendidik cucu-cucunya, anak-anak Pandu dan Destrarastra sejak mereka kecil. Ia menyayangi Pandawa dan Kurawa sama rata sama rasa, tidak membeda-bedakan keduanya. Tetapi ia melihat mereka berkembang ke arah yang berlawanan. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?
Ia bersedih hati ketika Pandawa kalah bermain dadu dan harus mengembara di hutan selama dua belas tahun. Sementara Kurawa memegang kekuasaan di Hastina. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?
Ia bisa menerima ketika Pandawa menuntut hak atas takhta Hastina, dan marah dengan penolakan Kurawa. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?
Ia sadar bahwa kata-katanya hanya didengar oleh Pandawa, dan diabaikan oleh Kurawa. Apakah ini yang menjadi penyebabnya?
4/
Kata-kata Bhisma tidak bisa menghentikan peperangan. Di hari kesebelas, perang berlanjut kembali. Derap kereta kuda bergemuruh. Panah-panah beterbangan, pedang-pedang beradu, darah dan air mata membasahi bumi.
5/
Ia sadar bahwa kematiannya di perang besar telah digariskan dewata. Ia sadar pula bahwa cara kematiannya adalah karma masa lalunya, ketika ia menolak cinta Amba yang setia mengikuti kemana pun ia pergi. Amba yang tewas tertembus anak panahnya tanpa sengaja. Amba yang bersumpah untuk menitis dalam tubuh prajurit wanita untuk menjemputnya.
Airmata menitik dari sudut matanya.
Dan ketika ia melihat Srikandi hadir di medan perang, ia tahu bahwa waktunya telah tiba. Ia melihat inkarnasi Amba menitis di dalam diri prajurit wanita itu, istri Arjuna. “Aku datang untuk menjemputmu, Kakanda. Kita akan bersama menuju alam keabadian,” kata Amba.
Ia menikmati hujan panah yang diarahkan ke tubuhnya, tanpa perlawanan.
6/
Perang berakhir di hari kedelapan belas. Hanya Pandawa yang datang menjenguk, tak ada lagi Kurawa. Tetapi matahari belum kembali ke titik baliknya di utara. Dan masih ada pertanyaan yang menggantung di depan pintu maut. Kenapa ia bisa sampai terlibat di dalam perang ini?
“Aku tidak memusuhi Pandawa, karenanya aku tidak bertempur melawan mereka. Tetapi aku juga bukan membela Kurawa, walau aku makan dari mereka. Apakah aku benar, ataukah aku salah, ketika aku memutuskan maju berperang membela negeriku, tanah airku?”
tanya Bhisma pada Krishna, sebelum perang pecah.
“Kakek Bhisma, kau tidak bersalah. Tugasmu sebagai ksatria, sebagai prajurit, adalah berperang membela negara. Kau berperang untuk membela negaramu,”
jawab Krishna.
7/
Dan kini, di malam-malam yang panjang, pertanyaan itu menggema kembali. “Apakah aku benar? Apakah aku salah?”
“Dewabrata, anakku, kau telah mengambil keputusan yang benar. Kau lahir dari kelas ksatria. Kau makan dari hasil bumi negerimu, dan kau minum air tanah negerimu sendiri. Sudah tugasmulah berperang untuk membela negara. Keputusanmu sudah benar, anakku,”
bisik ibunya, Dewi Gangga, dalam mimpinya di malam terakhir.
8/
Malam terakhir yang sunyi, malam yang penuh bintang. Bhisma tersenyum dan menutup mata. Wajahnya tenang dan bercahaya.
9/
Matahari telah berada di titik baliknya di sebelah utara.
Semua yang berdaging dan berdarah, akan menjalani penyucian setelah kematiannya. Dari tanah kembali ke tanah, dari cahaya kembali ke cahaya.
Jakarta, 23 – 24 Juni 2009
Urip Herdiman K.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 8:07 PM 1 comments links to this post
Monday, June 22, 2009
Cermin Sang Nyonya
CERMIN SANG NYONYA
Cermin memang ajaib. Cermin menangkap dan memantulkan apa yang ada di depannya, tak peduli bagus atau jelek, elok atau buruk. Cermin berbicara apa adanya, tidak membeda-bedakan, dan juga tidak menyensor.
Setiap hari, bisa pagi bisa petang bisa juga malam, ia selalu duduk di depan cermin. Atau sesekali berdiri dan berjalan-jalan. Jika sudah begitu, ia tahan berlama-lama menatap wajah dan dirinya sendiri. Melihat, mengamati, meneliti, menelaah, menjelajah. Matanya, hidungnya, telinganya, rambutnya, lehernya, dadanya…aih. “Tak ada yang menyamai diriku, tak boleh ada yang menyamaiku!” pikirnya.
Dahulu ketika masih muda dan belum punya apa-apa, ia tak peduli cermin seperti apa yang ada di depannya. Cermin yang ia punya hanya cukup seukuran tubuhnya saja. Langsing.
Tetapi kini, setelah ia bisa memiliki semua yang diinginkannya, ia menjadi peduli pada cermin seperti apa yang harus ada di depannya. Apakah datar, cembung atau cekung. Satu hal yang pasti, cermin itu harus lebih lebar dari bentuk tubuhnya yang meluas beberapa millimeter setiap tahunnya. Ia bisa tersenyum dan tertawa senang karenanya. Atau merengut, cemberut, marah-marah dan memaki-maki.
Dan semua dipantulkan oleh cermin itu, tak ada satu pun yang terlewatkan.
Suatu malam menjelang tidur, seperti biasa, ia duduk berjam-jam di depan cerminnya. Ia memang sudah tidak muda lagi. Tetapi lekuk-lekuk tubuhnya masih bisa membetot mata para lelaki. Tubuh yang subur dan indah permai.
Ditatapnya rambut yang mulai dihiasi warna putih. Keriput yang mulai bisa dihitung. Kantung mata yang agak gelap. Kulit yang harus selalu diberi pelembab. Dan ia masih bisa tersenyum melihat bibirnya yang mungil, tipis, basah, merekah. “Bibir ini tidak perlu ikut-ikutan menjadi tua,” ucapnya lirih.
Tiba-tiba ada sebuah lampu yang menyala di dalam otaknya. Cling! “Aku bosan menatap diriku sendiri setiap hari. Aku ingin sesuatu yang berbeda.”
Pagi berikutnya, pembantu masuk ke dalam kamar sang nyonya. Tidak ditemukan majikannya yang biasa menatap dirinya sendiri di cermin setiap pagi, tetapi ia mendengar seseorang memanggil-manggilnya. “Surti, Surti…kemari.”
Surti, pembantu itu, celingak-celinguk hingga mengarahkan pandangan matanya pada cermin sang nyonya. “Aku disini, di dalam cermin!”
Jakarta, 22 Juni 2009
Urip Herdiman K.
Labels: Puisi
posted by Urip Herdiman Kambali @ 1:09 AM 2 comments links to this post
Wednesday, June 17, 2009
Isu Pertahanan Dalam Kampanye Pilpres 2009
ISU PERTAHANAN DALAM KAMPANYE PILPRES 2009
Bulan Mei 2009 lalu, ketika saya sakit dan menginap di rumah sakit selama empat hari, pesawat Hercules milik TNI – AU jatuh di Magetan, Jawa Timur yang menewaskan sekitar 100 orang. Setelah itu, dua pesawat heli militer menyusul jatuh. Pesawat heli MBB milik TNI – AD jatuh di Cianjur, lalu heli Super Puma milik TNI – AU jatuh di Lanud Atang Sanjaya. Keduanya terjadi minggu lalu, saat latihan. Sekali lagi, jatuh dalam latihan, bukan jatuh dalam operasi militer. Menyedihkan dan memalukan.
Semua pejabat militer dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, Panglima TNI, dan juga Menteri Pertahanan, tidak mengatakan apa penyebab sebenarnya. Ada yang mengatakan faktor cuaca, ada yang menyebutkan kesalahan manusia (human error). Semua mengakui usia pesawat yang sudah tua, tetapi tidak menyalahkan kurang dan minimnya anggaran pertahanan, termasuk anggaran untuk pemeliharaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI.
Itu baru tiga kecelakaan terakhir yang belum terlalu jauh dari ingatan kita. Sebelumnya sudah banyak kecelakaan yang melibatkan alutsista TNI. Semuanya bisa disederhanakan. Usia alutsista TNI yang sudah uzur, rata-rata diatas usia 30 tahun, dan kurangnya biaya perawatan, sudah seharusnya diganti. Tetapi kemauan politik Pemerintah termasuk politik anggaran Pemerintah membuat peremajaan mesin-mesin perang tersebut terlambat, sehingga sistem pertahanan Indonesia masuk dalam ruang gawat darurat. Tegasnya, Pemerintah tidak memberikan prioritas pada pembangunan TNI yang professional, kuat dan modern.
Situasi ini bisa kita tarik jauh ke awal periode Orde Baru, ketika Soeharto memulai kekuasaannya. Soeharto, untuk meredam kecemasan Malaysia dan Singapura, mengembangkan kebijakan politik luar negeri yang bertetangga baik. Anggaran militer dialihkan ke sektor ekonomi, pembangunan militer direm, dan sebagai kompensasinya, banyak petinggi-petinggi militer mendapat imbalan jabatan-jabatan politik di luar militer, yang dikenal luas sebagai dwifungsi ABRI. Politik pertahanan Pemerintah saat itu adalah membangun tentara yang kecil, efektif dan efisien, dengan ujung tombak pada TNI – AD.
Namun kemudian situasi politik regional berubah, ironisnya, politik luar negeri dan politik pertahanan Indonesia tidak berubah, sekalipun Soeharto sudah jatuh pada bulan Mei 1998. Karena tuntutan reformasi, maka ABRI dikembalikan menjadi TNI dan Polri, serta harus meninggalakn gelanggang politik. Sebagai imbalannya, Pemerintah menjamin akan memberikan anggaran yang cukup bagi TNI untuk dapat mentransformasikan dirinya menjadi tentara yang professional, kuat dan modern. Nyatanya, sampai saat ini hal tersebut tidak dapat direalisasikan.
Pemerintah selalu beralasan bahwa ada sektor pembangunan yang lebih penting dan diprioritaskan, sehingga anggaran pembangunan militer selalu menjadi pilihan pertama untuk disunat, karena Pemerintah kita tetap menjalankan politik luar negeri bertetangga baik sesuai dengan spirit ASEAN.
Akibatnya jelas, pembangunan militer menjadi tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Banyak ahli yang menaruh perhatian pada masalah ini menggungkapkan kekhawatirannya, karena anggaran pertahanan Indonesia merupakan yang paling rendah di Asia Tenggara, sementara cakupan wilayah laut, udara dan darat yang harus dicovernya adalah paling luas.
Kasus Ambalat hanya merupakan akibat saja dari melemahnya kemampuan dan kesiapan TNI dalam menjaga wialayah NKRI. Malaysia pasti tahu betul bahwa kemampuan alutsista TNI yang ditempatkan di Ambalat tidak ada apa-apanya dibandingkan milik mereka yang lebih muda tahun pembuatannya dan lebih canggih sistem persenjataannya. Makanya mereka berani memprovokasi Indonesia, sementara Indonesia hanya bisa melayangkan protes. Tidak ada kekuatan diplomasi yang tidak didukung oleh kekuatan militer yang memadai. Dan Indonesia merasakan hal itu, dilecehkan negeri jiran.
Kasus Ambalat bukan satu-satunya. Masih ingat, ‘kan dengan perjanjian kerjasama Indonesia – Singapura yang ditandatangani beberapa tahun lalu di Denpasar? Indonesia butuh uang, Singapura butuh lahan untuk latihan pesawat-pesawat tempurnya. Untung saja perjanjian itu macet dan gagal, karena dikaitkan dengan perjanjian ekstradisi yang juga merugikan Indonesia.
Banyak contoh kecil lainnya yang bisa ditambahkan. Perlahan tapi pasti, kontrol atas Selat Malaka pun menjadi lemah, dan Singapura menjadi lebih menentukan dibandingkan Indonesia. Pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia oleh nelayan-nelayan dari negeri-negeri tetangga seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina bahkan Taiwan, jelas sekali menunjukkan lubang-lubang kelemahan dalam sistem radar pertahanan laut Indonesia.
Ketertinggalan Indonesia juga diperparah oleh paradigma berpikir para perwira tinggi TNI, yang masih menempatkan TNI – AD sebagai ujung tombak dari sistem pertahanan kita. Seorang jenderal bintang empat yang pernah menjabat sebagai KSAD pernah mengatakan, biarkan saja musuh menyerang dan akan digempur habis-habisan di daratan Indonesia. Benar-benar suatu kesalahan yang konyol punya jenderal bintang empat seperti itu.
Di era post modern ini, keunggulan udara dan atau maritime merupakan suatu keharusan yang mutlak dalam membangun tentara yang professional, kuat dan modern. Memang biaya untuk itu sangatlah besar, karena angkatan laut dan udara full technology, tetapi ini merupakan konsekuensi kita sebagai negara maritime.
Nah, di masa kampanye pilpres 2009 ini, dari tiga pasangan calon, ada tiga jenderal yang semuanya dari angkatan darat. Dan ketiganya mewakili cara pandang militer Indonesia yang sudah ketinggalan zaman, yang berorientasi pada pertahanan darat, namun mengabaikan peretahan udara dan laut. Menurut pandangan saya, ketiganya sangat menyedihkan dalam hal wawasan pertahanan. Ketiganya tidak punya wawasan pertahanan yang komprehensif bagaimana seharusnya membangun pertahanan Indonesia. Memang satu calon presiden, yang sedikit lebih punya visi dan menaruh perhatian pada masalah ini, walau seperti slogannya, dia ingin membereskan masalah pertahanan ini lebih cepat lebih baik.
Tetapi apakah mungkin membangun militer yang profesional, kuat dan modern hanya dalam tiga bulan atau seratus hari? Omong kosong ini membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. *** (UHK, 17 - 18 Juni 2009)
Labels: Esai
posted by Urip Herdiman Kambali @ 7:29 PM 0 comments links to this post
Tuesday, June 09, 2009
Sakit dan Aspek Spiritual dari Sakit
SAKIT DAN ASPEK SPIRITUAL DARI SAKIT
Tanpa sengaja, bulan Mei 2009 kemarin saya harus menginap empat hari tiga malam di RS Bhakti Yudha, Depok, dari hari Senin, 18 Mei sampai Kamis, 21 Mei, karena kena demam berdarah (DB). Sebelumnya, demam tinggi terlebih dahulu selama empat hari dari Kamis, 14 Mei, memaksa saya istirahat di rumah. Baru kemudian setelah tidak tahan dengan panas tinggi empat hari dan masukan cairan yang terus berkurang, selaput lidah menjadi kuning tebal dan bibir pecah-pecah, saya menyerah untuk masuk rumah sakit. Ternyata kena demam berdarah.
Tetapi ngomong-ngomong, apa sih ‘sakit’ itu?
Sakit, kalau mengikuti definisi WHO yang panjang itu, saya tidak terlalu ingat walau sudah beberapa kali mendengrnya. Tetapi kalau mengikuti definisi Bali Usada Meditasi, kira-kira adalah tidak harmonisnya antara tubuh, pikiran dan jiwa. Dan kalau mengikuti difinisi akupunktur, sangat mudah mengikutinya, yaitu hilangnya keseimbangan yin dan yang.
Sehat adalah kondisi dimana terdapat kesimbangan yin dan yang. Jadi kalau tidak ada keseimbangan yin dan yang, artinya kita sedang dalam keadaan sakit. Mungkin kita tidak merasakannya, sehingga tidak merasa perlu ke dokter atau rumah sakit. Baru setelah parah, demam tinggi beberapa hari, ambruk dan terkapar di tempat tidur, kita merasa perlu mencari bantuan atau pertolongan dokter.
Tentang sakit ini, saya berani katakan, tidak ada satu orang pun yang ingin sakit. Tetapi kalau sakit datang berkunjung dan menginap di tubuh kita, mau tidak mau, kita harus beristirahat, mungkin minimal bedrest. Tetapi bisa saja sakit itu berlanjut dan menjadi parah.
Kalau mengikuti kedokteran barat yang mekanis, sakit dilihat sebagai gangguan yang sifatnya fisik. Namun saya juga mencoba melihatnya dari aspek penyembuhan alternatif. Dalam berbagai teori penyembuhan alternatif, sakit bukanlah sekadar kerusakan mesin saja, tetapi juga melibatkan aspek spiritual. Manusia bukan cuma sekadar tubuh yang berdarah-daging saja, tetapi juga meliputi aspek pikiran dan jiwa. Sakit bisa datang dari unsur-unsur pikiran dan kejiwaan.
Dalam teori lima unsur akupunktur, jelas perannya emosi atau yang resminya disebut penyebab penyakit dalam (PPD). Yaitu marah yang berhubungan dengan Liver/Gall Bladder, terkejut/gembira dengan Heart/Small Intestine, berpikir/rindu dengan Spleen/Stomach, kuatir/sedih dengan Lung/Large Intestine, dan takut dengan Kidney/Bladder. Segala yang berlebihan, akan mengganggu meridian-meridian dan organ-organ tersebut, tinggal seberapa jauh gangguan itu terjadi. Apakah yin dan yang, apakah letaknya masih di luar atau sudah di dalam, apakah jenisnya dingin atau panas, dan apakah sifatnya lemah atau kuat.
Sementara itu saya juga percaya bahwa ada penyakit karena faktor spiritual, yang mungkin jarang atau tidak banyak diketahui, seperti misalnya penyakit karma, akibat dari karma di kehidupan-kehidupan kita yang lampau. Penyakit bisa muncul tiba-tiba, mendadak tetapi bisa juga lama menetap tetapi sulit disembuhkan. Anda percaya? Hahaha…
Setelah di rumah sakit, saya pun bisa melihat aspek yang lain dari sakit. Yah, mungkin Tuhan sedang berbaik hati pada saya, sehingga memberikan sakit untuk beberapa hari. Dengan demikian, saya bisa ‘cuti’, alias terbebas dari rutinitas pekerjaan sehari-hari, walau harus tidur di rumah sakit. Maklum, sebagai pekerja outsourcing, saya tidak punya cuti. Hehehe…
Di saat-saat seperti itulah, ketika sakit, adalah kesempatan yang baik bagi kita untuk introspeksi melihat ke dalam diri sendiri. Mungkin saja selama ini, urusan kantor dan pekerjaan, urusan mencari uang, sudah terlalu banyak menyita energi kita. Kalau tidak dapat cuti, ya tubuh sendirilah yang akan memintanya dengan sakit itu. *** (UHK, Rabu, 10 Juni 2009)
Labels: Esai
posted by Urip Herdiman Kambali @ 9:38 PM 1 comments links to this post
The Urheka Project : Mimpi Dalam Mimpi
"All that we see, or seem, is but a dream within a dream." - Edgar Allan Poe, A Dream Within A Dream, 1846.
About Me
My Photo
Name: Urip Herdiman Kambali
Location: Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat, Indonesia
View my complete profile
KUMPULAN PUISI
KARNA, KSATRIA DI JALAN PANAH
Acara Launching
karna, ksatria di jalan panah
Hari/tanggal :
Jumat, 9 November 2007
pukul 19.00 – selesai
Tempat :
Café Omah Sendok,
Jl. Taman Mpu Sendok No. 45, Jakarta Selatan
Telp. 021-52104531, 021-52964745
Reservasi :
Lala Dj. – 081-807 875 018
Kumpulan Puisi 1988-2005
MEDITASI SEPANJANG JAMAN DI BOROBUDUR
meditasi panjang di borobudur
(bagian pertama)
:suprapto suryodarmo
Angin mendesir lalu,
aku termangu
Membawa serta debu-debu waktu
bertahun-tahun dalam abad-abad lampau
-Beku
Di sini,
di dalam ruang ini
pagi
siang
dan malam
tidak berarti lagi
Dan raja-raja silih berganti bagaikan musim
bangkit dan tumbang bersimbah darah
kejayaan dan keruntuhan di ujung senjata
Air mata telah menjadi sungai kesaksian
Angin mendesir lalu,
aku terpaku
Di sini,
di dalam ruang ini
Aku terpenjara dalam stupa Borobudur
[Sawangan, 1 April 1993]
Catatan:
Suprapto Suryodarmo , penari dan koreografer dari Padepokan Lemah Putih, Mojosongo, Surakarta
poison arrows
:mike oldfield
Ketika detak jam terus melaju
dan
malam semakin kelam
dingin,
sunyi.....
Kala aku terkapar,
KAU
melepaskan anak-anak panah
meracuniku
dengan sayatan guitar dan dentuman bass
membunuhku di dalam tangga nada
Sawangan, 11 Januari 1992
Catatan :
Interpretasi terhadap Poison Arrows, dari Mike Oldfield
dalam album Discovery and The Lake, 1984.
Mike Oldfield, musisi Inggris, kelahiran Reading, 15 Mei 1953
telepon
di pintu malam,
kita bercakap-cakap pendek
lalu kau membacakan sebuah puisi sapardi
yang kau hafal di luar kepala
dan di akhir percakapan
kukatakan padamu,
"dengan menulis puisi,
aku menjadi tuan untuk diri sendiri."
Stadela, Kamis, 15 September 2005 : 05.59
Shout Box
Free chat widget @ ShoutMix
Friends
* Butterfly
* Malaikat Kecil
* Prima Vega Capella
* Mayssari
* Tathagati
* Violet
* Bunga Matahari
* Yoshi BuMa
* Puisi Org
* Puisi Net
* Blue4gie
* Dyodyo
* Pakcik
* Dedy Tri Riyadi
* Ileng Dian Arlina
* Millati Syifa
* Epri
* Debby
* Debong
* Lala
* Sarwono
* Apandi Ali
* Chairil Anwar
* Esti
* Budi Rahardjo
* Kutu
* Ely
* Amethys
* Aan Mansyur
* Mumu
* K Winarta
* Anto
* Edwin
* Nela
* Unai
* TS Pinang
* Steven
* Nanang Suryadi
* Ready S.
* Haris
* Kurnia Effendi
* Reza Gunawan
* Iman Brotoseno
* Indah Survyana
* Joko Pinurbo
* Denny Ardiansyah
* Gita Pratama
* Aurelia Tiara
* Rio Gunawan
* AFW
* Hasan Aspahani
* Arya Gunawan
* Wayan Sunarta
* Setiyo Bardono
* Donni Said
* ACI
* Endah Sulwesi
* Ferdi Afrar
* Maulida Raviola
* Icha
* Astrid Savitri
* Kinu Triatmodjo
* Inez Dikara
* Dagadu Djokdja
* Dwi Rastafara
* Chanque
* Ventura Elisawati
* Tembi
* Wulan Guritno
* Sandra Dewi
* Galeri Artis
* Infogue
* Anwar Holid
* Peter Kasenda
* Anto Dwiastoro Slamet
* Anto Dwiastoro Slamet
* Kurniawan Junaedhie
* Surya Sejahtera
* Alumni SMA 34 Jakarta
* Vidi Soeprastowo
* Fetty Amalita
* Kursus Blog
* Herveen
* Kumpul Blogger
* Asep Sambodja
* Betty Huwae
* Bali Usada Meditation
* Alan Parsons
* Mike Oldfield
* Steve Hackett
* Pink Floyd
* Brain Damage
* Yes
* Rick Wakeman
* Deep Purple
* Blackmore's Night
* ELP
* Procol Harum
* The British Society of Dowsers
* The American Society of Dowsers
* Pendulums
Previous Posts
o Skenario Menghitung Mundur...
o Tai Chi (II) : Lingkaran Hitam Putih Reinkarnasi
o Wajah Seperti Apa?
o Yin Yang Pergantian Hari
o Negeri Malam
o Dari Mata Ke Mata
o Teman yang Mesra
o Anak-anak Matahari Penjaga Pintu
o Drupadi, Wanita Dengan Lima Suami
o Diantara Pintu-pintu Perjalanan Jiwa
Archives
o July 2006
o August 2006
o September 2006
o October 2006
o November 2006
o December 2006
o April 2007
o May 2007
o June 2007
o July 2007
o August 2007
o September 2007
o October 2007
o November 2007
o December 2007
o January 2008
o February 2008
o March 2008
o April 2008
o May 2008
o June 2008
o July 2008
o August 2008
o September 2008
o October 2008
o November 2008
o December 2008
o January 2009
o February 2009
o April 2009
o June 2009
o July 2009
o August 2009
o September 2009
o October 2009
o November 2009
Powered by Blogger
Tidak ada komentar:
Posting Komentar