Cari Blog Ini

Selasa, 22 Desember 2009

Sejarah Reyog Ponorogo, antara mistis dan seni budaya
My 2 cent's December 24th, 2008

Melihat gerak yang ditampilkan para pelaku jenis kesenian khas Ponorogo, Jawa Timur, Reyog Ponorogo, terlintas kesan mistis di dalamnya. Reyog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan. Minuman keras dan juga kendalanya. Tak lepas pula kekuatan supra natural. Barongan mempertontonkan keperkasaan dalam mengangkat dadak berat seberat sekitar 40 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan berlangsung, seperti yang tertulis disana.

Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, aneh, eksotis sekaligus membangkitkan gairah. Tidak hanya satu versi yang diceritakan asal muasal kesenian Reyog Ponorogo.

Sebuah buku terbitan Pemda Kabupaten Ponorogo pada tahun 1993 menyebutkan, sejarah lahirnya kesenian ini pada saat Raja Brawijaya ke-5 bertahta di Kerajaan Majapahit. Untuk menyindir sang raja yang amat dipengaruhi oleh permaisurinya ini, dibuatlah barongan yang ditunggangi burung merak oleh Ki Ageng Tutu Suryo. Lebih lanjut cerita rakyat yang bersumber dari Babad Jawa menyatakan pada jaman kekuasaan Betoro Katong, penambing yang bernama Ki Ageng Mirah menilai kesenian barongan perlu dilestarikan.

Ki Ageng Mirah lalu membuat cerita legendaris tentang terciptanya Kerajaan Bantar Angin dengan rajanya Kelono Suwandono. Kesenian Reyog ini pertama bernama Singa Barong atau Singa Besar mulai ada pada sekitar tahun saka 900 dan berhubungan dengan kehidupan pengikut agama Hindu Siwa. Masuknya Raden Patah untuk mengembangkan agama Islam disekitar Gunung Wilis termasuk Ponorogo, berpengaruh pada kesenian Reyog ini. Yang lalu beradaptasi dengan adanya Kelono Suwandono dan senjata Pecut Samagini.

Ada juga yang berkisah bahwa reyog Ponorogo ini menceritakan Ki Kutu Suryongalam yang merupakan Demang Ponorogo yang dianggap disersi karena berani mengkritik dan beroposisi dengan Bre-Kertabumi (Brawijaya V), Raja Majapahit waktu itu. Kutu melihat bersemainya Demak yang ditopang oleh kalangan Islam merupakan ancaman serius terhadap kelangsungan Majapahit.

Nasehat Kutu ini justru dianggap fitnah oleh Brawijaya V yang telah termakan oleh bujuk rayu Dewi Campa (seorang putri Cina yang dipersembahkan kepada Brawijaya dari pihak Demak). Dewi Campa memang ditugaskan oleh Demak untuk melakukan Islamisasi terhadap Kerajaan Majapahit. Akibat pertimbangan yang diberikannya itu, maka Kutu menuai hukuman politik dan harus dimusnahkan.

Namun begitu, Kutu tak patah arang, ia membangun basis pertahanan lokal sekaligus mengkritik Brawijaya V dengan mencipta reyog. Tampilan reyog yang menggambarkan kepala harimau yang berbalut bulu merak menandakan bahwa Brawiajaya V tak berkutik diketiak Dewi Campa. Sedang barisan Jathil (pasukan berkuda) yang bersifat femenin mengilustrasikan bahwa prajurit Majapahit bak perempuan yang tak bernyali untuk menggempur Demak Bintoro.

Singkat cerita, saat Majapahit runtuh oleh Demak, maka Demak juga menghabisi Kutu. Pasukan Demak yang dipimpin Katong berhasil menduduki Ponorogo. Selanjutnya mitos mitos reyog Kutu dikemas ulang oleh Katong yang menceritakan iring ringan Prabu Klana Sewandono (Wengker) hendak mempersunting Dewi Songgolangit (Kediri). Nafas satiris dalam mitos mitos reyog Kutu dengan sengaja dilenyapkan oleh Katong, sebab antara Katong dan Brawijaya V ternyata hubungan bapak-anak. Karena Katong sebagai pemangku sejarah yang dominan dan berkuasa, maka berlakulah hukum kekuasaan, yakni yang menang yang akan membentuk sejarah.

Biar bagaimanapun cerita yang menyebutkan asal usul Reyog Ponorogo bersumber yang jelas. Kini kesenian ini tidak hanya dijumpai di daerah kelahirannya saja. Biasanya satu group Reyog terdiri dari seorang wWarok Tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlahnya berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran sentral berada pada tangan warok dan pembarongnya.

Kedasyatan Reyog Ponorogo dalam mengumpulkan dan mengerakkan massa sempat membuat sebuah organisasi sosial politik sejak tahun 1950-an untuk mendomplengnya sebagai alat. Tahun 1955 misalnya terbentuk cakra cabang kesenian Reyog agama milik NU, untuk memenangkan partainya pada pemilu. Kemudian Bren Barisan Reyog Nasional atau BRP atau Barisan Reyog Ponorogo milik Tegak. Hal ini membuat Reyog Ponorogo dalam perkembangannya nyaris tiba jurang kematian.

Pada tahun 1965 sampai 1971 saat pemerintah menumpas PKI, BRP dibubarkan dan imbasnya membuat Reyog-Reyog lain ikut ujungnya. Ribuan unit Reyog terpaksa dibakar akibat terpaan isu kesenian ini menjadi penggalak komunis dalam mengumpulkan dan mengerakan massa. Para pelaku kesenian ini akhirnya menjadi pekan atau pencari rumput.
Beruntung di akhir 1976, Reyog Ponorogo kembali dihidupkan dengan pendirian INTI (Insan Tagwa Illahi Ponorogo). Belajar dari sejarah ini, banyak pelaku seni ini yang tidak ingin lagi ditunggangi. Biarlah Reyog menjadi milik rakyat tanpa batasan dan diklaim milik golongan tertentu.

Reyog Ponorogo terus berkibar hingga sekarang, bahkan sejumlah pengembangan bentuk dalam pengarapan kesenian ini banyak dilakukan. Terutama dengan menjamurnya lembaga formil untuk mengembangkan kesenian Reyog dalam bentuk konterporer. Ini soal kesenian yang terlanjur dicap berbau mistis ini, upaya pelestarian dan pemulihan melalui festival rutin tahunan terkadang justru mengorbankan kemurnian dan kekhasan kesenian itu sendiri. Padahal unsur mistis, justru merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reyog Ponorogo.

Banyak hal yang terkesan mistis dibalik kesenian Reyog Ponorogo. Warok misalnya, adalah tokoh sentral dalam kesenian ini yang hingga kini menyimpan banyak hal yang cukup kontroversial. Tidak sedikit orang yang menganggap profil warok telah menimbulkan citra kurang baik atas kesenian ini. Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara yang baik dan jahat dalam cerita kesenian Reyog. Warok Tua, adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Kendati demikian, kehidupan warok sangat bertolak belakang dengan peran yang mereka mainkan di pentas.

Konon warok hingga saat ini dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok, seperti pendekatannya dengan minuman keras dan dunia preman.
Untuk menjadi warok, perjalanan yang cukup panjang, lama, penuh liku dan sejuta goda. Paling tidak itulah yang dituturkan tokoh Warok Ponorogo, Mbah Wo Kucing. Untuk menuju kesana, harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.
Warok Tua, sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Petuah yang disitir seorang warok tua sebenarnya sudah sering didengar namun kata-kata yang keluar dari mulutnya seolah bertenaga.

Dulunya warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yakni lelaki belasan tahun yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman Reyog. Seolah menjadi kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Apalagi ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan bahkan dengan istri sendiri, bisa menjadi pemicu lunturnya seluruh kesaktian. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan adalah ciri khas relaksi khusus antara gemblak dan waroknya.

Sebegitu jauh persepsi buruk atas warok, diakui mulai dihilangkan. Upaya mengembalikan citra kesenian ini dilakukan secara perlahan-lahan. Profil warok saat ini misalnya mulai diarahkan kepada nilai kepimpinan yang positif dan menjadi panutan masyarakat. Termasuk pula memelihara gemblak yang kini semakin luntur. Gemblak yang biasa berperan sebagai penari jatilan, kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dulu-dulunya kesenian ini tampil tanpa seorang wanita pun.
Selain warok, peran pembarong atau pemanggul darak merak, dalam kesenian Reyog Ponorogo, tidak bisa disepelekan. Apalagi kesenian ini nyata mengandalkan kekuatan tubuh dan atraksi akrobatiknya.

Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban darak merak yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 40-an kilogram selama masa pertunjukan.
Sekali lagi kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah kekuatan ekstra ini. Semisal, dengan cara memakai susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu. Wahyu inilah yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Bila tak diberkati wahyu, tarian yang diperagakan seorang pembarong akan tampak tidak enak dan tidak pas untuk ditonton.

Semula banyak orang tua di Ponorogo khawatir, akan kelangsungan kesenian khas Ponorogo ini. Pasalnya kemajuan jaman akan membuat pemuda di Ponorogo tidak akan mau lagi ikut berReyog. Apalagi menjadi pembarong. Namun kini telah banyak lahir pembarong muda, yang sedikit demi sedikit meninggalkan hal-hal yang berbau mistis. Mereka lebih rasional. Seorang pembarong, harus tahu persis teori untuk menarikan dadak merak. Bila tidak, gerakan seorang pembarong bisa terhambat dan mengakibatkan cedera.

Setiap gerakan semisal mengibaskan barongan ada aturan bagaimana posisi kaki, gerakan leher serta tangannya. Biasanya seorang pembarong tampil pada usia muda dan segar. Menjelang usia 40-an tahun, biasanya kekuatan fisik seorang pembarong, mulai termakan dan perlahan dia akan meninggalkan profesinya.
Saat ini, banyak pembarong yang menyangkal penggunaan kekuatan gaib dalam pementasan namun sebenarnya kekuatan gaib adalah elemen spiritual yang menjadi nafas dari kesenian ini. Sama halnya dengan warok, kini pun persepsi pembarong digeser. Lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional.

Pada acara Grebeg Suro yang acara puncaknya bertepatan dengan tanggal 1 Muharam (Tahun baru hijriah), di kota Ponorogo selalu diadakan festival Reyog Tingkat Nasional. Pada even ini seluruh komunitas, paguyuban ataupun perkumpulan reyog yang ada diseluruh nusantara (bahkan dunia) berkumpul menjadi satu di kota Ponorogo untuk memperlihatkan koreografi reyog dari yang klasik hingga modern kepada para pengunjungnya.

Ajang ini telah menjadi agenda rutin tahunan oleh Pemda Kabupaten Ponorogo, biasanya dimulai satu atau dua minggu sebelum tanggal 1 Muharam setiap tahunnya. Seluruh masyarakat Ponorogo dan sekitarnya menyambut positif festival ini yang dipusatkan di Alun-alun kota Ponorogo, lengkap dengan pasar malam dan aneka macam jajanan khas ndesonya.

Semoga dengan adanya festival ini, seni budaya reyog yang asli dari bumi Ponorogo ini akan tetap lestari dan bisa bertahan selama-lamanya. Amin.

Yuk nonton Grebeg Suro dan festival reyog secara live di Ponorogo yuukkkk ….

Disadur dari berbagai macam sumber.

Picture tribute to :
http://ariesaksono.files.wordpress.com/2…
http://anakdewa46.files.wordpress.com/20…
http://cahpo.files.wordpress.com/2008/08…

Leave a comment Comment RSS Tagged history, ponorogo, reog, reyog, sejarah

Previous: Madagascar : Escape 2 Africa, misi penyelamatan yang berujung petualangan
Next: 6 hari liburan seru di kampung halaman


27 Comments to “Sejarah Reyog Ponorogo, antara mistis dan seni budaya”
easy | December 24th, 2008 at 14:08

aku suka banget lihat pertunjukan reyog.
semoga budaya ini tetap dilestarikan

yudhiapr : semoga dengan menulis di blog bisa ikut melestarikan seni budaya ini.
winmit | December 24th, 2008 at 15:48

seni dan budaya serta adat istiadat di negara ini banyak banget ya
harus dilestarikan, agar tidak di caplok lagi ama negara-negara tetangga (terkhusus Ma*****a) ntar diklaim nya lagi heeee


yudhiapr : yuk kita lestarikan bersama-sama.

Daniel | December 24th, 2008 at 17:26

Seni yang bagus buanget.


yudhiapr : memang. apalagi kalau melihat langsung, suasana mistisnya sangat kental terasa.

ullyanov | December 24th, 2008 at 17:48

melalui nge-blog ini, kita juga bisa ikut melestarikan Reyog. Setidaknya, kita bisa terus mengingat bahwa itu kesenian yang lahir dari budaya anak bangsa ini.


yudhiapr : yup. memang.

dien | December 24th, 2008 at 20:25

Ayo dukung terus pelestarian budaya bumi pertiwi… sebelum di bajak negara tetangga lagi..


yudhiapr : yuk mareee …

yangputri | December 24th, 2008 at 21:25

pinginnya ngeliat langsung pertunjukan reog pasti seru ya krn ada berbau mistis getu..

ayo kita dukung pelestarian seni budaya daerah bumi pertiwi..


yudhiapr : yuk mareee …

dandoenk | December 26th, 2008 at 06:20

budaya… cerita… legenda…Indonesia gitu loch !!

negara lain begitu menghargai budaya Indonesia, entah kenapa bangsa ini malah terkesan adem-adem aja, saking ademnya sampai membeku


yudhiapr : memang. kita harus ikut melestarikannya.

faiz | December 26th, 2008 at 06:43

Kok Reyog? Bukannya Reog?


yudhiapr : jikalau kita menganut kepada buku Babad Tlatah Ponorogo, dan juga dalam prinsip konco reyog, terutama Embah Bikan, dan (alm) Embah Mujab penulisan Reyog yang benar adalah menggunakan hurup “Y”.
karena pada dasarnya kata REYOG itu sendiri mempunyai arti yaitu :
R : rasa kidung
E : engwang sukma adiluhung
Y : Yang Widhi
O : olah kridaning Gusti
G : gelar gulung kersaning kang Moho Kuoso

namun, karena kebijakan daerah yang menghilangkan huruf “Y” dalam makna reyog. Kebijakan pemda menghapuskan huruf “Y” dalam reyog ini memang didasarkan pada penulisan dalam Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Depdiknas pada tahun 1983. Dalam kamus itu memang dituliskan bukan reyog tetapi reog.

Belakangan penulisan reog dijadikan slogan kota Ponorogo oleh pemda, yang berarti Resik, Omber, Endah dan Girang gumirang.

satu lagi sejarah nan adiluhung diberangus demi kekuasaan (kepentingan) sepihak. IRONIS sekali …

an9el | December 26th, 2008 at 15:24

wew..pasti seru ya acaranya. sayang nya aku blom pernah liat..tau nya aj baru sekarang


yudhiapr : seru banget acaranya kemarin. selama seminggu lebih diadakan pementasan di alun-alun ponorogo dari sore hingga larut malam.

mputantular | December 27th, 2008 at 17:55

gw juga belom perna liat pertunjukkan reyog secara live… tapi dari televisi kayaknya memang super heboh…

dengan membaca postingan ini, pengetahuan gw ttg reyog makin lengkap dah….

salam kenal….


yudhiapr : artikel diatas semoga bermanfaat buat semuanya.

nina | December 30th, 2008 at 00:38

aku salut sama pelakon kesenian reyog juga kesenian lainnya, smoga generasi muda tetap smangat melestarikannya


yudhiapr : amin. semoga …

Anjari Umarjianto | December 30th, 2008 at 13:29

wahh….tulisannya berat nih! salute
met tahun baru kang


yudhiapr : met tahun baru juga pakdhe …

idana | December 31st, 2008 at 13:11

Aku juga belom pernah liat secara langsung.
Met taon baru ya mas…
Oya aku punya PR taon baru buatmu


yudhiapr : met tahun baru juga ..

Wongbagoes | December 31st, 2008 at 18:36

Wah, sampean gak pulang tho Om…


yudhiapr : mudik. ini juga baru nyampe lagi di jkt.

dblogger | January 1st, 2009 at 11:58

Met Tahun Baru ya…


yudhiapr : met tahun baru juga ..

fanabis | January 1st, 2009 at 16:56

wow liburan di kampuang rupanya…
eniwe
selamat tahun baru, semoga tahun ini lebih menyenangkan


yudhiapr : yup. suasana kampung ternyata sungguh menyenangkan jika kita nikmati bersama keluarga (orang yang kita cintai).
met tahun baru juga pakdhe .. semoga tambah funkeh ..

Pencerah | January 5th, 2009 at 22:04

kalo tikus warok itu ada legendanya apa enggak mas?


yudhiapr : wah baru denger kali ini aja mas. biasanya sih yg identik dengan warok itu kalo ngga gemblak-nya ya ilmu kanuragannya.

Brian | January 6th, 2009 at 10:51

apik deh…


yudhiapr : makasih udah mampir mas.

paguman | January 6th, 2009 at 18:23

mistis pasti nya…n seni budaya pun pasti nya hehehehe. kampret kemana aja lo ngilang ky di telan bumi


yudhiapr : gwe mah disini aje crut. ngga kemane2 kok …
elo sendiri gimane kabarnye ?? kok ngga pernah nulis2 lagi di blog ?
masih sibuk ama kerjaan ya ??

brian | January 8th, 2009 at 11:24

mampir lagi mas.. tugas antropologinya belum selesai…
ada artikel yang lain ndak tentang reyog (dah pake ejaan yang “benar” lho..)
suwun..

yudhiapr : monggo silahkan. wah untuk artikel lainnya sepertinya belum punya. mungkin next time semisalnya ada aku posting disini juga deh .. lestarikan terus budaya bangsa !

aribicara | January 8th, 2009 at 14:37

Ulasan yang menarik

Ulasan yang begitu lengkap yang memberikan gambaran tentang semua yang terkait dengan reyog Ponorogo ini.

wach,,coba saja kalau orang Malaysia baca tulisan ini, harusnya mereka g berani macem2 merngklaim ini Reyog yg asli Ponorogo.


yudhiapr : reyog yang ada di malaysia itu, para pemain dan pendiri awalnya adalah orang-orang ponorogo yang menjadi TKW disana. dan akhirnya beranak-cucu yang akhirnya menjadi semacam ‘budaya’ disitu.

untung saja saat ini masih ada yang melestarikan reyog di Ponorogo dan udah terkenal dari dahulu, coba semisalnya generasi ataupun ingatan tentang reyog itu hilang dari orang-orang yang ada Indonesia, maka tidaklah salah kalau semisalnya tiba-tiba ada yang mengaku reyog itu berasal dari Malaysia / negara lain karena promosinya yang gencar-gencaran.

yuk kita lestarikan dengan menulis apa saja yang ada disekitar kita. semoga aja bisa terus bertahan hingga ke anak cucu cicit dan seterusnya nanti tidak musnah ditelan oleh jaman. amin.

arif | February 1st, 2009 at 22:32

bagus, perlu dikembangkan.

yudhiapr : memang, kesenian kita harus dilestarikan dan dibudayakan. dan jangan lupa juga di promosikan, salah satunya ditulis kedalam blog seperti ini .. hehehe.
rusanti | February 9th, 2009 at 21:35

salam kenal semua buat blogger city ponorogo,

btw, soal kesenian reog sbnrnya asli mana?
semua orang tau, PONOROGO gitu lho…
malaysia… gak kenal tuh. sejak kapan ???…

dimanapun gw berada, ada orang tanya asli mana gw ?
gw jawab PONOROGO, orang tersebut pasti bilang ” REYOG dong !!”
GW JAWAB “SO, PASTI !!”

TETEP JAYA, KOTA REYOG PONOROGO…

regards,

rusanti (dari kec. slahung)


yudhiapr : mantabs nih .. aku juga bangga menjadi bocah Ponorogo. setiap kali ada berita tentang reyog, Ponorogo ataupun yang berbau Ponorogo seolah-olah mempunyai ‘daya magis’ tersendiri terhadap motivasi dan penambah semangatku. hehehe

rusanti | February 9th, 2009 at 22:16

kesannya NARSIS banget yak…

hehehe…

yo gak opo-opo toh. melestarikan kesenian daerah sendiri


yudhiapr : ngga kok. wajar. kita semua pada dasarnya adalah NARSIS. tapi dalam tahap dan tarap yang berbeda-beda.


miss u all!
Andy MSE | August 11th, 2009 at 12:00

Mohon ijin mengkopi gambar, untuk ilustrasi tulisan saya… Terimakasih!
putri aditama | November 22nd, 2009 at 13:29

PRIKITIEUUW………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
putri aditama | November 22nd, 2009 at 13:30

HE…HEEE agax narziz yach….
PRIKITIEUW
Leave a Comment

Name (required)

Mail (will not be published) (required)

Website





Yudhi Aprianto Desktop
About
YM : yudhi_001 | Email : yudhiapr [at] gmail [dot] com
About
Photo
Photo Gallery




Recent Posts
Boyongan ke http://munjalindra.com/
5 hari berkelana di Pulau Kalimantan
Menambahkan subtitle (terjemahan) pada film hasil download
Sarikata Chat (SKC) bangkit dari kubur
Sarikata.com Reborn
Menambahkan facebook badge / widget
Fenomena Blackberry Sesa(a)t kah ?
Tips memotret dikala senja (sunset)
Tips memotret secara candid
Penyakit-penyakit di kota Jakarta
Tips memotret sambil berwisata (travelling photography)
Jawablah dengan gambar
6 hari liburan seru di kampung halaman
Sejarah Reyog Ponorogo, antara mistis dan seni budaya
Madagascar : Escape 2 Africa, misi penyelamatan yang berujung petualangan
Categories
My 2 cent's (57)
My Books (2)
My Bussiness (6)
My Family (16)
My Movies (3)
My Offices (7)
My Photography (12)
My Songs (6)
My Techno (34)
My Vacations (5)
My Biorhythms Today

Biorhythms online
My Friends
Anto84
SideKick
IndonesianBloggers
Sarikata.com
Sarikata.net
YudhiApr Gallery
Recent Comments
vera on Setting Telkomsel Flash di Linux Fedora 8 = Berhasil !!
prast on The Rule of Thirds, komposisi layout fotografi
ayu on Menambahkan facebook badge / widget
ayu on Menambahkan facebook badge / widget
RAKASIWY on Menambahkan subtitle (terjemahan) pada film hasil download
rossid on The Rule of Thirds, komposisi layout fotografi
tio on Penyakit-penyakit di kota Jakarta
Mengembalikan Jati Diri Bangsa on Menambahkan subtitle (terjemahan) pada film hasil download
putri aditama on Sejarah Reyog Ponorogo, antara mistis dan seni budaya
putri aditama on Sejarah Reyog Ponorogo, antara mistis dan seni budaya

Sarikata.com
No Feed Key Found

Tidak ada komentar:

Posting Komentar